Rabu, 18 Mei 2011

MEWUJUDKAN PERMUKIMAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

1   Pembangunan Skala Besar : Dari Teknis Rasional Ke Wawasan Lingkungan
Institusi publik memegang peranan yang sangat menentukan terhadap terwujud tidaknya pembangunan yang berwawasan lingkungan. Dimensi social, ekonomi dan ekologis yang demikian kuat terjalin dalam pembangunan pemukiman  yang berwawasan lingkungan tidaklah mudah diatasi oleh pengembang dan swasta semata-mata. Peran institusi public bkanlah sebagai penyedia melainkan sebagai pencipta iklim membangun yang berkeadilan yang dapat mendorong terwujudnya suatu kepaduan social, ekonomi, ekologis dan fungsi dalam pemukiman.
Pendekatan pembangunan skala besar dalam konsep berkelanjutan tidak sama dengan pendekatan skala besar pada masa lalu. Dimasa lalu pemecahan skala besar lebih merupakan pemecahan dari segi teknik dan rasional untuk mencapai efisiensi ekonomi, terutama pada skala mikro atau skala proyek. Dalam pembangunan berwawasan lingkungan diperlukan pemikiran dan tindakan yang sifatnya komprehensif dan terpadu, dari segi ekologi, ekonomi, social dan fungsi. Pengertian bisar disini bukan semata-mata pada skala proyek, melainkan kepada kepaduan dan keholistikan pemikiran dan tindakannya yang membangun lingkungan. Pembangunan pemukiman yang berwawasan lingkungan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pemeliharaan lingkungan.
Unsure atau komponen pemukiman yang bersifat primer biasanya memerlukan teknologi tinggi dan capital besar dibangun oleh sector public atau swasta berskala besar. Sedangkan komponen sekunder oleh swasta menengah atau sector masyarakat. Demikian juga dengan tertier dapat dilakukan oleh sector swasta kecil atau masyarakat.
Dengan bagi peran seperti yang disebutkan diatas, maka masing-masing dapat berperan serta dalam pembangunan sesuai dengan kemampuan dan penguasaan teknologinya.
Sebagai proses pembangnan fissik maka telaahan dimulai dengan proses pra desain yaitu tahap pemilihan lokasi dan pembebasan tanah. Dalam studi AMDAL (proyek) analisis mengenai dampak lingkungan dilakukan menurut tahap kegiatan pembangunan mulai dari tahap persiapan yaitu tahap pemilihan lokasi dan pembebasan tanah sampai dengan tahap pengoperasian fasilitas yang dibangun.
Setiap pembangunan yang bertujuan social, ekologi dan ekonomi, maka semua tindakan dalam proses pembangunan dari mulai pemilihan lokasi serta pembebasan tanah sampai dengan pengoperasian dan pemeliharaannya harus dilakukan berdasarkan cita-cita tersebut. Setiap tahap tindakan pembangnan fisik memang mempunyai resiko mendatangkan dampak yang tidak diinginkan, disadari maupun tidak.

2.   Permukiman berwawasan Lingkungan sebagai Proses Arsitektur.
Arsitektur umumnya dipahami sebagai suatu seni atau sebagai suatu yang lebih berkaitan dengan keindahan ketimbang dengan urusan lain. Tapi arsitek didefinisikan sebagai sang pencipta: arsitek perdamaian, arsitek pembangunan ekonomi Indonesia dan lainnya.
Arsitek sendiri kemudian melihat dirinya sebagai pencipta cara hidup yang lebih baik sebagai seorang master. Sehingga seolah-olah bahwa apa yang diputuskan oleh arsitek atau perancang tidak akan membuat sesuatu menjadi buruk. Arsitek sebenarnya tidak menciptakan suatu dari yang tidak ada, pekerjaannya adalah mengubah sumber daya alam. Pemilik sumber daya alam adalah manusia dan mahkluk hidup yang ada didalamnya. Itulah yang membedakan arsitektur dari pekerjaan seni lainnya.   
Pemukiman yang berwawasan lingkungan dapat dilahat sebagai suatu tantangan atau ajakan, agar arsitektur tidak mengerdil menjadi suatu fashion dunia yang kurang member sumbangan yang berarti kepada kehidupan yang lebih baik kepada penghuni Bumi yang lebih luas.
Pandangan arsitektur sebagai system, melihat bagaimana setiap kegiatan perwujudan arsitektur merupakan bagian yang berdiri sendiri namun tidak lepas dari proses sebelumnya. Hasil proses sesudahnya dapat merupakan umpan balik sehingga kinerja proses dapat dikoreksi dan ditingkatkan. Dalam proses arsitektur perancangan menjadi sentral. Tujuan, standar kinerja dan kendala perancangan sudah dengan memperhitungkan apa yang diharapkan terjadi pada proses selanjutnya termasuk bagaimana lingkungan dan manusia berinteraksi.
Bagaimana peran arsitek dalam perancang dalam perwujudan permukiman yang berwawasan lingkungan? Sekarang ini perancang umumnya hanya mempunyai peran sebatas mengajukan usulan atau rekomendasi tidak mengambil keputusan.
Sikap berwawasan lingkungan dapat dipaksakan melalui peraturan. Dalam hal ini pembangunan berwawasan lingkungan dilihat sebagai suatu konsep moral yang perlu dimiliki dan diterapkan oleh setiap perancangan.
Jika organisasi profesi perancang mempunyai kedudukan kuat dan berpengaruh pada pengambilan keputusan, maka cita-cita untuk menjadikan arsitek menjadi pencipta lingkungan yang lebih baik bagi umat manusia dan sebagai yang mampu berada di barisan terdepan perubahan lingkungan yang menuju kepada keberlanjutan bumi akan dapat diharapkan tercapai.

3   Tahap Pembangunan Fisik
3.1    Pemilihan Lokasi dan Pembebasan Tanah
Proses pemilihan dan pembebasan tanah adalah proses yang relative lebih mudah dilakukan bilamana sudah ada rencana tata ruang yang berwawasan lingkungan. Dalam panduan perencanaan perumahan dan permukiman, persyaratan lokasi umumnya mengacu pada hal-hal yang menyangkut kesesuaian dengan peraturan dan keamanan serta keselamatan penghuni misalnya sesuai dengan rencana kota tentang peruntukan lahan , mudah dicapai, harus bebas banjir, kondisi lahan stabil, tidak dekat dengan sumber pencemar, aksesibilitas baik dan ada sumber air.
Untuk pembangunan skala besar diwajibkan melakukan AMDAL, ketidak adaan informasi mengenai rencana ruang yang tepat dapat digantikan oleh informasi dari studi AMDAL. AMDAL tentang permukiman, selain terkatagori pada AMDAL Proyek, mungkin juga bagian dari AMDAL regional atau kawasan. Untuk proyek skala kecil tidak perlu dilengkapi dengan studi AMDAL. Kecuali ada peraturan dan ketetapan yang lain, yang mewajibkan AMDAL untuk setiap perubahan lingkungan yang akan terjadi.
Bagaimana lahan dibebaskan juga penting dalam proses pembangunan berwawasan lingkungan. Tahap ini tidak jarang menjadi pemicu permasalahan social, terutama kalau pengembang dan pemilik tanah berbeda pendapat tentang soal harga atau bilamana pengguna atau pemilik tanah tidak mau melepaskannya. Musyawarah atau jalur hukum biasanya kemudian ditempuh.

3.2  Perancangan
Perancangan perlu dilakukan dengan cermat. Pengetahuan substansi yang diberlakukan dalam proses ini bukan dari merancangnya sendiri melainkan harus diturunkan dan diserap dari subsistem lain. Pengetahuan tentang proses perancangan sendiri hanyalah berupa metoda serta penerapannya.
Permukiman mencakup unsure lindungan atau gedung-gedung dan system jejaring. Kedua unsure tersebut terpadu dalam suatu rancangan yang lazim yang disebut sebagai perencanaan tapak. Perencanaan tapak ini dapat menyangkut kawasan keseluruhan tetapi juga rencana tapak bangunan imdividual. Rencana tapak ini sangat penting karena akan berakibat langsung pada perubahan bentang alam: penggalian, potong dan papas, penebangan pepohonan dan lain sebagainya.
Tantangan kepada perancang adalah bagaimana menciptakan lingkungan yang tepat ekologi, tetapi bernilai ekonomi dan manusiawi sehingga si pengembang lebih mudah menerima gagasan berkelanjutan.
3.3  Proses Konstruksi
Rancangan yang berwawasan lingkungan dapat merupakan awal yang baik bagi perkembangan pemukiman terencana. Akan tetapi yang akan lebih menentukan tercapainya tujuan adalah implementasinya. Perkiraan atau dugaan terhadap suatu peristiwa atau gejala, terjadi atau tidaknya, barulah tampak pada tahapan ini.
Perubahan ekologis baru akan terlihat pada tahap konstruksi. Oleh karena itu pengawasan dan pemantauan jelas diperlukan agar rencana yang berwawasan lingkungan tidak diubah kearah yang sebaliknya, pada waktu pelaksanaannya.
Wawasan sosio-ekonomi yang dapat diterapkan pada tahap ini, misalnya dengan membuka peluang sebesar-besarnya kepada penduduk dan usaha setempat untuk mengisi peluang kerja dan kesemapatan berusaha.pengembang kawasan ini dapat bekerja sama dengan pengembang kecil dan atau menggunakan kontraktor serta pengusaha bahan bangunan setempat. Ini merupakan gambaran kemitraan yang positif. Hanya saja sifat kostruksi hanya bersifat relative sementara, tak jarang mendorong sifat buruk pelaku untuk kurang bertanggung jawab.
Jika wawasan sosio-ekonomi yang ingin ditumbuhkembangkan maka si pengembang skala besar dapat memperlakukan proyeknya sebagai ajang proses pembelajaran peningkatan kualitas.
Kondisi lingkungan alami yang mungkin berubah umumnya berasal dari kegiatan penggalian dan penimbunan serta penghilangan berbagai macam flora dan fauna. Kegiatan galian dan timbunan yang dilakukan secara tidak cermat dapat membahayakan penduduk setempat yang menggunakan areal konstruksi untuk lalu lintas atau tempat bermain.

3.4  Proses Penghunian dan Bionomika Manusia.
Tujuan-tujuan sosio-ekonomi pembangunan akan tampak jelas bilamana permukiman sudah dihuni. Bila kemudian terwujud suatu komunitas yang mampu memelihara dan mengembangkan kehidupan social serta lingkungan fisik, tidak secara internal, melainkan juga dengan lingkungan sekitar, maka satuan permukiman tersebut dapat memberikan harapan lebih pasti akan terwujudnya cita-cita pembangunan yang berkelanjutan.
Proses penghunian yang terhambat, secara ekologi pun tidak menguntungkan. Pekarangan yang dibiarkan tidak ditanami, tanahnya mudah tererosi dan dapat mendangkalkan saluran-saluran pembuangan air.
Konsep berwawasan lingkungan menganjurkan agar sampah dikurangi dan banyak digunakan bahan yang 4 R (renewal, Reuse, Recycling dan Regeneration). Dalam tahap pasca konstruksi, pelaksanaan akan ditentukan oleh penghuninya sendiri. Demikian juga dalam hal hemat energy dan air.
Dalam pemeliharaan lingkungan yang biasanya menjadi masalah adalah ruang public yang merupakan daerah yang bertuan. Daerah ini dapat meliputi jalan-jalan utama, pedestrian, taman-taman dan jalur hijau. Sedangkan areal yang masih diidentifikasikan menjadi bagian penghuni biasanya dipelihara oleh penghuni masing-masing.
Air dan energy merupakan sumber daya yang wajib dihemat. Kebocoran air bersih dapat terjadi di tingkat manajemen atau disebabkan oleh buruknya kondisi perpipaan. Perilaku konsumen atau rumah tangga, juga berperan pada efisiensi penggunaan air dan energy. Ini mengisyaratkan perlu pemantauan dan upaya yang terus menerus agar perilaku ketiga institusi sesuai dengan tuntutan pembangunan yang berwawasan lingkungan.

3.5  Proses Umpan Balik, Penelitian dan Pengendalian
Setiap tahap pembangunan merupakan sus-sistem tersendiri, yang dapat memberikan informasi ke proses sebelum dan sesudahnya, demikian juga masa pasca penghunian penting untuk diperkirakan karena harus menjadi salah satu masukan bagi perancangan. Karena itu informasi tentangproses pembangunan itu penting untuk diketahui, baik untuk kepentingan akademik dan professional perancangan.
Informasi untuk kepentingan akademik dan professional yang diperoleh melalui kegiatan penelitian lazimnya tidak semata=mata untuk pengembangan ilmu pengetahuan, namun dapat dimanfaatkan bagi pengembangan kepranataan. Penelitian tentang lingkungan binaan seyogyanya memang mempunyai implikasi kepada hal itu. Penyusunan peraturan bangunan dan pedoman perancangan yang berwawasan lingkungan misalnya akan memerlukan informasi dan penelitian.
Keterkaitan yang kompleks dari pembangunan yangberwawasan lingkungan sudah tidak dapat lagi memilah-milah pengetahuan atas batas yang tegas antara teknologi dan pengetahuan social. Informasi dari penelitian juga perlu mendapat tempat dilingkungan akademik dan professional.
Hasil penelitian tidak semata-mata untuk kepentingan akademik atau pengembangan pengetahuan, mungkin bermanfaat bagi pengambil kebijaksanaan, baik yang bersifat makro maupun sifatnya lebih menyangkut peraturan teksnis.
Proses perancangan berbeda dengan proses penelitian yang menempatkan metoda perolehan informasi dan analisis sebagai bagian yang sama penting dengan hasil yang diperoleh sehingga apa, bagaimana dan darimana informasi dikumpulkan dan dianalisis menjadi bagian yang dipertanyakan dan dievaluasi.
Bagi pengelola permkiman, umpan balik diperlukan dalam rangka pengendalian pertumbuhan. Pengendalian dapat menyangkut hal-hal yang sifatnya teknis setempat, namun mungkin pula ada perkembangan gejala yang merupakan perkara kebijakan dalam lingkup yang lebih makro.
Perubahan dari rencana dan rancangan semula dapat terjadi sesaat suatu rancangan dilaksanakan. Masyarakat penghuni juga dapat melakukan perubahan lingkungan misalnya dengan menambah ruangan atau luas yang terbangun atau membagi kapling menjadi dua atau lebih karena alasan perwarisan, atau dijual sebagian dan lain sebagainya.
Perubahan juga dapat terjadi karena adanya pertumbuhan diluar perkiraan pembangunan kota semula. Perubahan-perubahan tersebut dapat dipantau baik secara formal, melalui mekanisme institusi public yang ada atau melalui cara-cara yang kurang formal.

PEMBANGUNAN DAN LINGKUNGAN HIDUP

Masyarakat memahami bahwa lingkungan  itu tidak terbatas hanya kepada hal-hal yang bersifatr fisik, melainkan  non fisik dan sosial juga. Dalam Undang-undang no 4 tahun 1982 tentang ketwntuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup, lingkungan hidup diartikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk didalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan peri-kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Pembangunan dalam arti luas telah mengalami perkembangan konsepsi, dari konsep yang menekankan pertumbuhan ekonomi sampai kepada konsep pemanusiaan sekarang ini ( Ginanjar 1996.10).  Pembangunan yang berkebang didekade 50- an dan 60- an umumnya menghasilkan ketimpangan sosial dan kecenderungan mengeksploitasi alam secara tidak bijaksana untuk konsumsi manusia. 
Langkah yang diambil untuk memacu pertumbuhan ekonomi  negara berkembang adalah melalui industrialisasi, yang tergantung kepada teknologi dan modal dari luar,  yang tak tertutup kemungkinan mendapatkan teknologi yang merusak  dan dapat mengancam kelestarian lingkungan.  Hasil pembangunan  diharapkan dapat dinikmati oleh masyarakat  sampai lapisan bawah  akhirnya tidak dapat dinikmati tetapi yamg mampuh cenderung lebih mampuh dan yang miskin tetap miskin bahkan menjadi lebih miskin. Oleh karena itu untuk mempertahankan hidupnya masyarakat miskin melakukan berbagai cara mengeksloitasi alam yang dapat merusak lingkungan dan karena miskin mereka juga tak berkemampuan mendidik generasi mudanya dan menjaga kesehatan dirinya maupun keluarganya sehingga produktifitasnya pun menjadi rendah.
Jumlah penduduk yang dinyatakan  miskin di Indonesia tahun 1990 sebesar 15,1 % dan menjadi 13,7 % tahun 1993. Kecenderungan terjadinya kesenjangan antara yang miskin dan yang berpendapatan tinggi  tampak lebih lebar. Pendapatan masyarakat berpendapatan tinggi tampak meningkat lebih cepat dibandingkan dengan pendapatan kelompok penduduk berpendapatan rendah. Dengan demikian pembangunan di Indonesia masih menghadapi tantangan yang besar dari kemiskinan dan disparitas sosial. Kemiskinan dan ketimpangan hanya sebagian saja dari beban yang cenderung bertambah berat terus yang ditanggung oleh lingkungan dari unsur kependudukan. Dampak manusia pada bumi tergantung pada jumlahnya, jumlah energi dan sumber daya lain yang dikonsumsinya, serta sampah yang dibuangnya. Pertambahan jumlah penduduk yang meningkat pesat  terutama dinegara berkembang serta gaya hidup konsumtif dinegara maju memperberat beban lingkungan dan mendorong terjadinya krisis pangan serta energi.
Adanya pertambahan penduduk berarti pula semakin banyak perumahan yang diuperlukan. Ini dapat berarti semakin terdesaknya lingkungan alami termasuk tanah dan pertanian. Selain perubahan penggunaan tanah, pembangunan perumahan pun akan berakibat kepada semakin besarnya eksploitasi sumber daya alam yang digunakan untuk pembangunan seperti pasir dan batu. Pertambahan penduduk  yang melahirka peningkatan angkatan kerja kemudian tidak diikuti oleh kemampuan negara yang bersangkutan untuk menyediakan lapangan pekerjaan maka pengangguran akan menjadi ancaman serius terhadap lingkungan. Perkotaan menjadi tujuan masyarakat mencari lapangan pekerjaan, sehingga prosentase penduduk perkotaan cenderung meningkat terus. Habitat 1986 memperkirakan 60.1 % penduduk dunia ditahun 2025 adalah penduduk perkotaan, sedangkan dinegara berkembang penduduk perkotaan di tahun tersebut diperkirakan mencapai 56,5 %.
Permukinan kota memerlukan lebih banyak teknologi untuk mengatasi kebutuhan penduduknya akan tempat yang sehat. Sampai sekarang baru ada 9 kota yang telah memiliki sistem pembuangan limbah. Sebagian besar rumah tangga diperkotaan termasuk perumahan baru menggunakan sistem sanitasi setempat yang tidak terlalu bersih.. Masyarakat miskin masih menggunakan sungai sebagai tempat pembuangan limbah dan 30,5 %  sampah kota dibuang ke sungai dan saluran air,  yang mengakibatkan pencemaran sungai. Digunakannya saluran air dan sungai sebagai tempat pembuangan sampah dapat meningkatkan potesi banjir, karena menurunnya kapasitas jaringan area, sementara oleh masyarakat lain sungai menjadi andalan sebagai sumber air bersih.
Perubahan penggunaan tanah dari alami ke buatan juga dapat membawa beban kepada lingkungan antara lain dapat mengubah perilaku air, resapanya kedalam bumi menjadi tertahan.  Devas menyebutkan bahwa untuk memenuhi target pelayanan dasar kota, Indonesia membutuhkan sekitar US$ 1,4 milyar pertahun atau sekitar 1/5 dari anggaran pembangunan satu tahun. Angka ini memperlitahkan besarnya tantangan pembangunan permukiman kota.
Kondisi lingkungan  dapat menjadi buruk ternyata tidak hanya karena faktor kemiskinan tetapi juga karena tuntutan untuk hidu lebih baik dari kelompok masyarakat yang lebih mampuh seperti penggunaan alat pengkondisi udara (AS) dimana peralatan ini dapat membuat penghuni bangunan merasa nyaman tetapi keluar bangunan alat ini memberikan sumbangan terhadap peningkatan suhu setempat. Tidak hanya pada penggunaan AC, tetapi tempat hunian  dan tempat kerja yang nyaman serta berbagai fasilitas sarana perbelanjaan, rekreasi, dan olah raga lebih mudah diperoleh dari pada air bersih untuk masyarakat, dimana kesemuanya itu memberikan sumbangan terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup. Pencemaran udara dapat mengancam lapisan ozon yang pada akhirnya berbahaya bagi kehidupan manusia.  Perilaku manusia yang kurang arif terhadap berbagai sumberdaya  alam telah mengurangi ketersediaannya.
Pembangunan ternyata tidak hanya sebagai alat pemenuhan kebutuhan sosial-ekonomi, melainkan sebagai pembangunan manusia, dimana pembangunan berarti memupuk kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan mengenai masa depan.  Sujatmoko mengatakan bahwa pembangunan merupakan pertumbuhan manusia dan peradaban. Dimana pembangunan ialah membuat penduduk suatu negri tidak hanya produktif tetapi juga secara sosial lebih efektif dan lebih sadar diri. Menurut David Korten masalah pembangunan bukanlah pertumbuhan melainkan transformasi dalam pranata-pranata teknologi, nilai-nilai dan perilaku kita sesuai dengan realitas ekologi dan sosial, dimana transformasi ini harus memenuhi tiga kebutuhan pokok masyarakat global yakni keadilan yaitu adanya sarana dan kesempatan untuk menghasilkan nafkah yang layak bagi diri sendiri dan keluarganya, serta penggunaan dan pemilikan sumberdaya yang lebih berkeadilan. Kedua adalah berkelanjutan artinya tiap generasi mengakui kewajibannya untuk memelihara sumberdaya bumi dan ekosistemnya untuk generasi berikutnya. Dan ketiga ketercakupan yakni setiap orang mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi penyumbang yang dihormati bagi keluarga, kelompok dan masyarakat.
Di bidang lingkungan badan dunia PBB pada tahun 1992 telah menyusun suatu perogram tindakan untuk pembangunan berkelanjutan yang dikenal dengan sebutan Agenda 21 atau Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan. Indonesia menggunakan trilogi pembangunan yakni pemaduan pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas. Pembangunan berkelanjutan dinyatakan dalam pembangunan perumahan dan pemukiman yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan pembangunan  perumahan dan pemukiman dilakukan agar terjangkau masyarakat luas dan berwawasan lingkungan serta berkelanjutan
1.1.    Konsep Pengembangan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan

Berwawasan lingkungan adalah pandangan yang tercermin dalam perilaku yang selalu mengupayakan hubungan yang serasi, antara manusia dan alam dan berbagai unsur buatan. Untuk lebih mendalami permasalahan lingkungan dan pembangunan dibentuklah World Commission on Environment and Development (WCED), yang merumuskan konsep pembangunan  berkelanjutan. Perkembangan yang berkelanjutan  ( sustaineble development) adalah pembangunan dan perkembangan untuk memenuhi kebutuhan sekarang, tanpa harus menghalangi generasi yang akan datang, untuk memenuhi kebutuhannya. Para pakar mengidentifikasikan tiga pandangan tentang pembangunan berkelanjutan.
Pertama. Pandangan dari sudut ekonomi yang memfokuskan perhatiannya pada upaya peningkatan kemakmuran semaksimal mungkin dalam batasan modal dan kemampuan teknologi. Kedua, pandangan dari sudut ekologi yang memandang terjaganya keutuhan ekosistem sebagai syarat mutlak untuk menjamin keberlanjutan perkembangan kehidupan. Ketiga, Pandangan dari segi sosial yang menekankan bahwa manusia adalah faktor kunci dan organisasi sosial yang senantiasa mancari pemecahan bagaimana menjaga berkelanjutan pembangunan.
Pembangunan berkelanjutan memerlukan sikap pembangunan yang berbeda dengan sebelumya yaitu diperlukan suatu sikap yang tidak lagi memilah, memisah-misahkan apalagi mempertentangkan tujuan-tujuannya. Untuk menegakkan etika berkelanjutan orang harus mempertimbangkan kembali nilai-nilai yang dianut dan merubah perilakunya. Dua sifat utama dalam saling ketergantungan  yakni perilaku masing-masing pihak mempengaruhi perilaku keseluruhan, dan tidak satu pun pihak yang mempunyai pengaruh atau akibat yang berdiri sendiri. Kepranataan yang ada sekarang  yang masih berorientasi kepada pertumbuhan perlu diubah menjadi kepranataan yang dapat menopang berkelanjutan pembangunan, baik tingkat lokal, regional, nasional dan global.


1.2.    Konsep Perumahan dan pemukinan

Tahun 70 –an pembangunan perumahan mendapat kritikan karena orientasinya  yang sangat berat kefisik dan kurang memperhatikan masalah sosial dan ekonomi. Dari laporan Habitat tersirat bahwa konsep perumahan berbeda dengan konsep permukiman, dan konsep permukiman lebih luas dari perumahan. Undang-undang no 4 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman di bedakan sebagai berikut :
Permukiman adalah  bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, dapat merupakan kawasan perkotaan dan pedesaan berfungsi sebagai lingkungan  tempat tinggal / hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan. Sedangkan perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi saebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian plus prasarana dan sarana lingkungan. Permukiman adalah perumahan dengan segala isi dan kegiatan yang ada didalamnya. Perumahan merupakan wadah fisik sedang permukiman merupakan paduan antara wadah dengan isinya  yaitu manusia, yang hidup bermasyarakat dan berbudaya didalamnya.
Secara lebih sederhana dapat dikatakan permukiman adalah paduan antara unsur : manusia, dengan masyarakat, alam dan unsur buatan.  Karakter, keterkaitan dan keterpaduan kelima unsur permukiman tersebut akan mewujudkan suatu kondisi dan karakter permukiman tertentu. Berdasarkan karakter alam permukiman umumnya dibedakan atas perkotaan, pedesaan, pantai, pegunungan,dsb. Berdasarkan karakter kemasyarakatannya digunakan kategori tingkat kemampuan ekonomi yaitu, tinggi, menengah, dan rendah. Berdasarkan sifat buatan yaitu perumahan susun, perumahan tak bertingkat, dsb. Dengan demikian jelaslah bahwa permasalahan permukiman tidaklah sama dengan permasalahan perumahan. Habitat 1986 menyebutkan bahwa permukiman adalah suatu konsep terpadu, oleh karena itu strategi pembangunan haruslah dibentuk dengan menempatkan perrmukiman sebagai pembina pengembangan disekitar manusia dan tempat dimana mereka bekerja dan tinggal, dengan  kata lain sebagai suatu konsep terpadu permukiman dapat menjadi instrumen untuk memajukan pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan yang berkelanjutan.

Rantai Makanan

Apa yang terjadi dengan produktivitas bersih komunitas tumbuhan? Beberapa diantaranya dipanen oleh hewan pemakan tumbuhan yaitu herbivore. Yang mencakup didalamnya bukan hanya hewan-hewan seperti rusa dan sapi tetapi juga herbivore kecil misalnya serangga. Sebagian dari hasil bersih tumbuhan dikonsumsikan oleh organism penghancur, terutama fungi dan bakteri. Pada komunitas tumbuhan tertentu, sedikit hasil bersih tersimpan. Misalnya pada rawa banyak sisa tumbuhan tidak hancur dan menimbun menjadi gambut. Endapan seperti itu pada masa lampau menjadi batu arang.

Pada hutan muda, jumlah total bahan organic meningkat setiap tahun dengan meningkatnya ukuran pohon perennial berkayu. Akan tetapi jika hutan menjadi dewasa, kehilangan bahan organic karena kematian dan kehancuran, bila ditambahkan kepada kehilangan karena dimakan hewan pemakan tumbuhan, sama dengan produktivitas bersih. Istilah biomassa digunakan untuk melukiskan seluruh bahan organic yang terdapat dalam suatu ekosistem.
Bila sebagian dari biomassa suatu komunitas tumbuhan dimakan, energy itu diteruskan kepada sesuatu heterotrof, yang keberadaannya bergantung pada energy tersebut. Misalnya belalang, tumbuh dan melakukan seluruh kegiatannya berkat energy yang tersimpan pada tumbuhan yang dimakannya. Pada gilirannya, herbivore menyediakan makanan pada karnivora. Belalang tadi dimakan oleh katak. Proses pemindahan energy dari makhluk ke makhluk dapat berlanjut. Katak dapat dimakan oleh ular yang pada gilirannya dapat dimakan oleh burung elang.
Lintasan konsumsi makanan disebut rantai makanan. Semua rantai makanan mulai dengan organisme autrofik, yaitu organisme yang melakukan fotosintesis seperti tumbuhan hijau. Organisme ini disebut produsen karena hanya mereka yang dapat membuat makanan dari bahan mentah anorganik. Setiap organisme yang merasa langsung memakan tumbuhan disebut herbivore atau konsumen primer. Karnivora seperti halnya katak yang memakan herbivore disebut konsumen sekunder. Karnivora sebagaimana ular yang memakan konsumen sekunder dinamakan consumen tertier dan seterusnya. Setiap tingkatan konsumen dalam suatu rantai makanan disebut tingkatan trofik.
Untuk menentukan sebenarnya apa memakan apa dalam komunitas alamiah, dengan segera dapat diketahui bahwa sebagai rantai makanan itu sangat bertalian. Kebanyakan hewan mengkonsumsi makanan yang beragam pada gilirannya, meyediakan makanan untuk berbagai makhluk lain yang memangsanya. Jadi energy yang terdapat dalam hasil bersih dari produsen itu berlalu kedalam jarring makanan yang teramat rumit. Pada setiap tingkatan konsumsi dalam rantai I makanan sebagian dari hasil bersih tingkatan tersebut tidak dikonsumsi oleh tingkatan yang lebih tinggi berikutnya tetapi setelah organisme itu mati diurai oleh banyak sekali organisme pengurai yang banyak sekali terdapat dalam tanahdan dimana pun bahan organic terdapat. Mereka mengekstraksi energy yang tersisa dalam bahan organic dan dengan demikian melepas produk anorganik dari degradasinya kembali kea lam sekitarnya. Kita telah mengetahui bahwa aliran energy melalui biosfer itu searah; dari matahari ke produsen, kemudian ke konsumen, dan akhirnya ke organisme pengurai.
Rantai makanan adalah pengalihan energi dari sumbernya dalam tumbuhan melalui sederetan organisme yang makan dan yang dimakan.  Para ilmuwan ekologi mengenal tiga macam rantai pokok, yaitu rantai pemangsa, rantai parasit, dan rantai saprofit.
1.      Rantai Pemangsa

Rantai pemangsa landasan utamanya adalah tumbuhan hijau sebagai produsen. Rantai pemangsa dimulai dari hewan yang bersifat herbivora sebagai konsumen I, dilanjutkan dengan hewan karnivora yang memangsa herbivora sebagai konsumen ke-2 dan berakhir pada hewan pemangsa karnivora maupun herbivora sebagai konsumen ke-3.

2.      Rantai Parasit

Rantai parasit dimulai dari organisme besar hingga organisme yang hidup sebagai parasit. Contoh organisme parasit antara lain cacing, bakteri, dan benalu.





3.      Rantai Saprofit
Rantai saprofit dimulai dari organisme mati ke jasad pengurai. Misalnya jamur dan bakteri. Rantai-rantai di atas tidak berdiri sendiri tapi saling berkaitan satu dengan lainnya sehingga membentuk faring-faring makanan.
4.      Rantai Makanan dan Tingkat Trofik

Salah satu cara suatu komunitas berinteraksi adalah dengan peristiwa makan dan dimakan, sehingga terjadi pemindahan energi, elemen kimia, dan komponen lain dari satu bentuk ke bentuk lain di sepanjang rantai makanan.
Organisme dalam kelompok ekologis yang terlibat dalam rantai makanan digolongkan dalam tingkat-tingkat trofik. Tingkat trofik tersusun dari seluruh organisme pada rantai makanan yang bernomor sama dalam tingkat memakan.
Sumber asal energi adalah matahari. Tumbuhan yang menghasilkan gula lewat proses fotosintesis hanya memakai energi matahari dan C02 dari udara. Oleh karena itu, tumbuhan tersebut digolongkan dalam tingkat trofik pertama. Hewan herbivora atau organisme yang memakan tumbuhan termasuk anggota tingkat trofik kedua. Karnivora yang secara langsung memakan herbivora termasuk tingkat trofik ketiga, sedangkan karnivora yang memakan karnivora di tingkat trofik tiga termasuk dalam anggota iingkat trofik keempat.

5.      Piramida Ekologi

Struktur trofik pada ekosistem dapat disajikan dalam bentuk piramida ekologi. Ada 3 jenis piramida ekologi, yaitu piramida jumlah, piramida biomassa, dan piramida energi.

a.      Piramida jumlah

Organisme dengan tingkat trofik masing - masing dapat disajikan dalam piramida jumlah, seperti kita Organisme di tingkat trofik pertama biasanya paling melimpah, sedangkan organisme di tingkat trofik kedua, ketiga, dan selanjutnya makin berkurang. Dapat dikatakan bahwa pada kebanyakan komunitas normal, jumlah tumbuhan selalu lebih banyak daripada organisme herbivora. Demikian pula jumlah herbivora selalu lebih banyak daripada jumlah karnivora tingkat 1. Kamivora tingkat 1 juga selalu lebih banyak daripada karnivora tingkat 2. Piramida jumlah ini di dasarkan atas jumlah organisme di tiap tingkat trofik.

b.      Piramida biomassa

Seringkali piramida jumlah yang sederhana kurang membantu dalam memperagakan aliran energi dalam ekosistem. Penggambaran yang lebih realistik dapat disajikan dengan piramida biomassa. Biomassa adalah ukuran berat materi hidup di waktu tertentu. Untuk mengukur biomassa di tiap tingkat trofik maka rata-rata berat organisme di tiap tingkat harus diukur kemudian barulah jumlah organisme di tiap tingkat diperkirakan.
Piramida biomassa berfungsi menggambarkan perpaduan massa seluruh organisme di habitat tertentu, dan diukur dalam gram. Untuk menghindari kerusakan habitat maka biasanya hanya diambil sedikit sampel dan diukur, kemudian total seluruh biomassa dihitung. Dengan pengukuran seperti ini akan didapat informasi yang lebih akurat tentang apa yang terjadi pada ekosistem.
c.       Piramida energy

Seringkali piramida biomassa tidak selalu memberi informasi yang kita butuhkan tentang ekosistem tertentu. Lain dengan Piramida energi yang dibuat berdasarkan observasi yang dilakukan dalam waktu yang lama. Piramida energi mampu memberikan gambaran paling akurat tentang aliran energi dalam ekosistem.
Pada piramida energi terjadi penurunan sejumlah energi berturut-turut yang tersedia di tiap tingkat trofik. Berkurang-nya energi yang terjadi di setiap trofik terjadi karena hal-hal berikut.
1.      Hanya sejumlah makanan tertentu yang ditangkap dan  dimakan oleh tingkat trofik selanjutnya.
2.      Beberapa makanan yang dimakan tidak bisa dicemakan dan dikeluarkan sebagai sampah.
3.      Hanya sebagian makanan yang dicerna menjadi bagian dari tubuh organisms, sedangkan sisanya digunakan sebagai sumber energi.

PROSES PEMBENTUKAN BIOGAS

Pembentukan biogas dipengaruhi oleh pH, suhu, sifat substrat, keberadaan racun, konsorsium bakteri. Bakteri non metanogen bekerja lebih dulu dalam proses pembentukan biogas untuk mengubah senyawa yang kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana . Bakteri non metanogen ada yang bersifat aerob dan anaerob yang termasuk bakteri hidrolitik, fermentatif, dan asetogenik (Madigan et al., 2003). Bakteri Metanogen tergolong Archeabacteria, secara fisiologi bakteri metanogen memiliki suatu substansi yang disebut F420, yaitu suatu koenzim yang dapat terabsorpsi dengan kuat pada panjang gelombang 420 nm (Mink & Dugan, 1976), dengan adanya koenzim F420 dalam keadaan terreduksi menyebabkan bakteri ini dapat memancarkan sinar fluoresens berwarna hijau kebiruan ketika disinari oleh sinar ultraviolet pada panjang gelombang tertentu dan dapat membedakannya dengan bakteri non metanogen. Fungsi dari koenzim F420 adalah sebagai pembawa elektron pada proses metabolisme yaitu pada proses metanogenesis (Peck, 1989).
Metanogenesis adalah proses konversi materi organik menjadi gas CH4 dan CO2 yang terjadi secara anaerob (Burke, 2001), proses ini merupakan tahap terakhir yang paling menentukan dalam produksi biogas. Metanogenesis terjadi dengan melibatkan populasi mikroba yang bekerja secara konsorsium. Secara lengkap proses degradasi materi organik secara anaerob ini meliputi empat tahap, yaitu : hidrolisis polimer oleh organisme hidrolitik ; pembentukan asam dari materi organik yang melibatkan bakteri fermentatif ; pembentukan asetat dari metabolit hasil fermentasi yang dilakukan oleh bakteri homoasetogenik atau bakteri sintrofik; pembentukan CH4 dari H2 atau CO2, asetat, alkohol, propionat atau butirat (Dubey, 2005).
Biogas merupakan salah satu cara pemanfaatan limbah yang potensial dan dapat dikembangkan baik di negara maju maupun di negara berkembang. Pembuatan biogas relatif mudah, tidak memerlukan bahan yang mahal namun bisa dihasilkan produk yang sangat berguna. Biogas dapat dibuat dari berbagai limbah baik limbah pertanian, limbah peternakan, limbah industri bahkan limbah domestik, dengan memanfaatkan mikroorganisme yang bisa mendegradasi limbah akan dihasilkan produk akhir berupa gas metan dan karbondioksida. Komposisi biogas yang dihasilkan terdiri dari gas metan (55 - 65 %), karbondioksida ( 35-45%), nitrogen (0-3%), hydrogen (0-1 %), dan hydrogen sulfida (0-1 %) (Anunputtikul, Rodtong, 2004).
Keberhasilan dalam memproduksi biogas ditentukan oleh berbagai faktor. Beberapa faktor yang menentukan dalam keberhasilan produksi biogas diantaranya :
1.  Pengaruh pH
Biogas terbentuk karena adanya kerja berbagai bakteri yang ikut terlibat dalam aktivitas perombakan substrat kompleks. Pertumbuhan bakteri yang terlibat tersebut sangat dipengaruhi oleh pH. Nilai pH optimum dalam produksi biogas berkisar antara 7-8 (Fulford,1988). Diawal reaksi pembentukan biogas, bakteri penghasil asam akan aktif lebih dulu sehingga pH pada digester menjadi rendah, kemudian bakteri metanogen menggunakan asam tersebut sebagai substrat sehingga menaikkan nilai pH kembali menjadi netral, ini menandakan bahwa dalam proses produksi biogas terjadi pengaturan pH secara alami, tingkat keasaman diatur oleh proses itu dengan sendirinya. Karbondioksida yang dihasilkan oleh bakteri larut dalam air untuk membentuk ion bikarbonat (HCO3-) yang menyebabkan larutan menjadi lebih alkali. Jumlah ion bikarbonat dalam larutan tergantung pada konsentrasi karbondioksida dan jumlah asam yang ada pada slurry.(Fulford, 1988) Jika bakteri penghasil asam tumbuh terlalu cepat maka asam yang dihasilkan akan lebih banyak dari jumlah yang dapat dikonsumsi oleh bakteri penghasil metan, akibatnya sistem akan terlalu asam, jika hal ini terjadi maka pH akan turun, sistem menjadi tidak seimbang dan aktivitas bakteri penghasil metan akan terhambat.(Burke, 2001)

Pengaruh Suhu
Suhu berpengaruh terhadap produksi biogas, umumnya produksi biogas meningkat dua kali lipat setiap kenaikan suhu 100C pada kisaran suhu 150C - 350C (Fulford,1988). Bakteri metanogen sangat sensitif terhadap perubahan suhu, Perubahan suhu yang mendadak lebih dari 50C dalam satu hari dapat menyebabkan bakteri ini berhenti bekerja sementara.
2.  Pengaruh Racun
Antibiotik, desinfektan, dan pestisida merupakan contoh jenis racun yang dapat membunuh bakteri dan dapat menyebabkan produksi biogas tidak terjadi. Begitupun dengan deterjen, hidrokarbon seperti kloroform dan pelarut organik lainnya merupakan racun dalam proses produksi biogas.(Fulford,1988; Burke,2001). Sebelum proses produksi biogas dimulai maka harus dipastikan bahwa digester, substrat serta air yang digunakan bebas dari berbagai racun yang dapat membunuh bakteri yang diperlukan.
3.  Sifat dari Substrat
Sifat substrat yang digunakan dalam produksi biogas sangat menentukan keberhasilan produksi biogas itu sendiri. Pada dasarnya bahan yang dijadikan substrat tersusun dari materi organik seperti karbohidrat, lemak, dan protein. Materi organik tersebut dapat didegradasi sehingga menghasilkan produk akhir berupa gas yang disebut biogas. Pada prinsipnya kecepatan dan efisiensi proses degradasi substrat tergantung pada bentuk secara fisik dan secara kimia.
Menurut Furfort (1988) substrat yang berasal dari kotoran ternak merupakan substrat yang paling mudah digunakan dalam produksi biogas dibandingkan substrat yang berasal dari tumbuhan, hal ini disebabkan kotoran ternak telah mengandung bakteri yang tepat serta proses degradasinya ikut dibantu secara mekanik oleh gigi pada saat proses mengunyah serta secara kimiawi dibantu oleh asam dan enzim pencernaan dalam saluran pencernaan hewan, hal ini berbeda dengan substrat yang berasal dari tumbuhan seperti limbah pertanian banyak mengandung lignin, selulosa serta hemiselulosa yang sulit didegradasi oleh bakteri sehingga memerlukan waktu yang lebih lama untuk dikonversi menjadi biogas.
4.  Konsorsium Bakteri
Salah satu faktor yang sangat menentukan dalam proses pembentukan biogas adalah adanya peran serta bakteri, karena pada hakekatnya konversi materi organik menjadi biogas ini merupakan hasil kerja berbagai bakteri yang bekerja secara konsorsium.(Burke, 2001). Proses tidak akan berjalan jika hanya terdapat salah satu bakteri saja, konsorsium memerlukan lebih dari satu spesies bakteri metanogen, ada spesies metanogen yang mampu mengkonversi asetat menjadi metan contoh Thermoacetogenium phaeum, spesies lain mengkombinasikan CO2 dan H2 menjadi metan dan H2O melalui proses reduksi karbonat. (Fresspatent.,2007) Kondisi reaktor harus benar-benar dijaga agar tetap terjadi keseimbangan sehingga bakteri dapat bekerja secara konsorsium.
Terdapat dua golongan bakteri yang terlibat dalam proses konversi materi organik menjadi biogas, yaitu bakteri non metanogen dan bakteri metanogen. Bakteri non metanogen bekerja lebih dulu menghasilkan berbagai asam organik seperti asam asetat, asam propionat, asam butirat dan lain-lain, contoh bakteri non metanogen adalah Escherichia coli, Bacteroides, Clostridium botylinum. Asam organik hasil kerja bakteri non metanogenik akan digunakan oleh bakteri metanogenik untuk dikonversi menjadi biogas.
Bakteri metanogen umumnya menyukai suasana pH netral atau alkali dengan kisaran nilai pH antara 6,8-8,5 untuk memproduksi metan (Teng,1994; Burke,2001). Bakteri penghasil asam tumbuh lebih cepat daripada bakteri penghasil metan. Jika bakteri penghasil asam tumbuh terlalu cepat maka asam organik yang dihasilkan lebih banyak dari jumlah yang dapat dikonsumsi oleh bakteri metanogen, akibatnya sistem akan terlalu asam, jika hal ini terjadi maka pH akan turun, sistem menjadi tidak seimbang dan aktivitas bakteri penghasil metan akan terhambat.( Furford,1988 ; Burke, 2001).

AIR

Air merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi karena merupakan salah satu kebutuhan essensial yang kedua setelah udara. Tidak akan ada kehidupan di dunia seandainya di bumi tidak ada air. Air yang relatif bersih sangat didambakan oleh manusia, baik untuk keperluan hidup sehari-hari, untuk keperluan industri, untuk kebersihan sanitasi di daerah pemukiman, maupun untuk keperluan pertanian dan lain-lain sebagainya.  Kandungan air di bumi sangatlah melimpah, volume seluruhnya mencapai 1.400.000.000 km3. Lebih kurang 97% merupakan air laut, yang tidak dapat dimanfaatkan secara langsung dalam kehidupan manusia. Dari 3% sisanya, 2% berupa gunung-gunung es di kedua kutub es bumi, selebihnya 0,75% merupakan air tawar yang mendukung kehidupan makhluk hidup di darat, yang terdapat di danau, sungai, dan di dalam tanah.
Air merupakan suatu zat yang istimewa. Ia tampil dalam tiga wujud sekaligus; sebagai benda cair, benda padat (es), dan gas (uap). Ia juga terdapat di tiga ruang; dipermukaan bumi, di dalam tanah, dan atmosfir bumi. Wilayahnya mencakup hampir ¾ permukaan bumi sebagai air permukaan dengan volume 1.350 juta km3 (99,3%) yang tersimapn di danau, sungai, samudra luas, rawa, sawah, got. Di dalm atau di bawah tanah ia berwujud sebagai air tanah volumenya sekitar 8,3 juta km3 (0,6%) yang tersimpan di dalam tanah termasuk sumur-sumur. Dan sisanya terdapat di atmosfer bumi, dalam wujud uap atau awan dengan volume sekitar 12.900 km3 (0,1%). Jadi secara keseluruhan, di planet bumi ini terdapat sekitar 1.360 juta km3 air dan ini terus menerus mengalami pendauran (siklus) tiada pernah berhenti yang disebut siklus hidrologi yaitu sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir.
Kebutuhan manusia akan air antara lain untuk minum, masak, mandi, mencuci dan sebagainya. Mengingat bahwa air bersih sangatlah berguna bagi kehidupan mahkluk hidup terutama manusia maka air harus memenuhi  syarat fisika, kimia, mikrobiologi, dan radioaktif, karena air juga mempunyai potensi yang sangat besar jika tercemar dalam mentransmisikan penyali, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik penyakit infeksi maupun penyakit non infeksi.  Persediaan air yang berkualitas dan juga kuantitas yang cukup akan menentukan kemajuan derajat kesehatan masyarakat.

A.    PENGERTIAN AIR

Secara alamiah air merupakan kekayaan alam yang dapat diperbaharui dan mempunyai daya regenerasi yaitu selalu mengalami sirkulasi dan mengikuti daur. Daur hidrologi diberi batasan sebagai tahapan-tahapan yang dilalui air dari atmosfer, penguapan dari tanah atau laut, kondensasi untuk membentuk awan, presipitasi akumulasi di dalam tanah maupun tubuh air dan menguap kembali (Syehan,1990).
Air kita perlukan untuk proses hidup dalam tubuh kita, tumbuhan dan juga hewan. Sebagian besar tubuh kita, tumbuhan dan hewan terdiri atas air. Air juga kita perlukan untuk berbagai keperluan rumah tangga, pengairan pertanian, industri,  rekreasi dan lain-lain. (Sugiharto, 1987).
Sumber air bermacam-macam, ada tiga sumber air yang paling banyak ditemukan, yakni air hujan, air permukaan, dan air tanah. (Onny Untung, 2004).
1.      Air Permukaan
Air permukaan adalah air hujan yang mengalir di permukaan bumi. Pada umumnya air permukaan ini mendapat pengotoran selama pengalirannya, misalnya oleh lumpur, batang-batang kayu, daun-daun, dan sebagainya (Totok Sutrisno, 2004). Menurut Hefni Effendi, air permukaan diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama, yaitu :
a. Perairan tergenang,
b. Badan air mengalir.
Air Tanah
Air tanah merupakan air yang berada di bawah permukaan air tanah (Hefni Effendi, 2003). Air tanah merupakan sumber utama, tapi bukan satu-satunya sumber air minum. Maka kelayakan air tanah tersebut menjadi persoalan utama. (Bernadette West dkk, 1998).
Air tanah adalah air yang keluar dengan sendirinya kepermukaan tanah. Mata air yang berasal dari tanah dalam, hampir tidak terpengaruh oleh musim dan kuantitas/ kualitasnya sama dengan keadaan air dalam (Totok Sutrisno, 2004). Menurut direktorat penyehatan air Ditjen PPM dan PLP departemen Kesehatan Republik Indonesia (1997), mata air/ air tanah adalah air yang berada di dalam tanah untuk memperolehnya dengan cara menggali/ dibor atau secara alamiah keluar ke permukaan tanah (mata air).
Pada dasarnya, air tanah dapat berasal dari air hujan, baik melalui proses infiltrasi secara langsung maupun tidak langsung dari ais sungai, danau rawa, dan genangan air lainnya. Pada saat infiltrasi kedalam tanah, air permukaan mengalami kontak dengan mineral-mineral yang terdapat didalam tanah dan melarutkannya, sehingga kualitas air mengalami perubahan karena terjadi reaksi kimia. Kadar oksigen yang masuk ke dalam tanah menurun, digantikan oleh karbondioksida yang berasal dari proses biologis, yaitu dekomposisi bahan organik yang terlarut dalam air tanah (Hefni Effendi, 2003).
1.      Air Hujan
Hujan terjadi karena penguapan, terutama air pemukaan laut yang naik ke atmosfer dan mengalami pendinginan kemudian jatuh kepermukaan bumi. Proses penguapan tersebut terus berlangsung., misalnya pada saat butiran hujan jatuh kepermukaan bumi, sebagian akan menguap sebelum mencapai permukaan bumi. Sebagian akan tertahan tanaman-tanaman dan oleh matahari diuapkan kembali ke atmosfer. Air hujan yang sampai di permukaan bumi, akan mengisi cekungan, kubangan dipermukaan bumidan sebagian akan mengalir pada permukaan bumi (Benyamin, 1997).

B.     SUMBER- SUMBER AIR
Sumber air merupakan salah satu komponen utama yang mutlak ada pada suatu sistem penyediaan air bersih. Dengan mengetahui sumber air maka diharapkan dapat mengetahui jenis sumber air, karakteristik, serta faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik air tersebut. Secara umum sumber air dapat dikategorikan sebagai berikut:
  1. Air hujan
Air hujan adalah uap air yang sudah terkondensasi dan jatuh ke bumi. Air hujan bersumber dari air yang ada di angkasa sebagai uap air atau dalam bentuk awan yang berasal dari evaporasi air laut, air permukaan dan es yang ada di kutub, dan jatuh kebumi yang dapat berupa zat cair tapi mungkin juga sebagai zat padat 
Keuntungan air hujan adalah  :
a.  Sebelum terkontaminasi dengan bahan-bahan pencemar air ini kualitasnya sangat baik
b.  Cara pengumpulan dapat dilakukan secara individual sehingga cocok untuk daerah terpencil atau daerah transmigrasi.  Dapat juga diterapkan cara semi kolektif yaitu satu penampungan air hujan dapat digunakan untuk beberapa rumah tangga.
c.    Bahan / wadah yang digunakan bisa memakai bahan lokal dan tenaga lokal.
Kerugian air hujan adalah  :
a.   Debit air terbatas karena sangat tergantung dari curah hujan dan luas atap
      ( bidang penangkapan air yang digunakan)
b. Kalau sudah terkontaminasi dengan bahan pencemar maka dapat membahayakan kesehatan.
c.   Kandungan mineralnya sangat kurang sehingga memerlukan makanan yang banyak mengandung mineral tersebut.
 2        Air permukaan
Air permukaan adalah air yang terdapat di permukaan bumi baik dalam bentuk cair maupun padat. Air permukaan dapat bersumber dari air hujan, air tanah yang mengalir keluar permukaan bumi melalui sungai, danau, dan laut serta yang berasal dari buangan bekas aktifitas manusia.
a.       Kuantitas air sungai
Air sungai dipengaruhi oleh  musim,  dimana debit air sungai  pada musim hujan  relative lebih besar dari pada debit sungai pada musim kemarau dan juga sumber air asal serta sifat dan luas daerah tangkapan air
b.      Kualitas  air  sungai
Kualitas air sungai tergantung  dari kadar  pencemaran dan jenis tanah  dan daerah yang dilalui oleh sungai tersebut.
c.       Kuantitas  dan kualitas  air danau
Kuantitas  serta kualitas air danau atau kolam pada umumnya konstan tergantung dari debit sumber air asal, luas dan sifat catchment area, penguapan dan infiltrasi air kedalam tanah.
3        Air Tanah
Air tanah adalah air hujan atau air permukaan yang meresap ke dalam tanah dan bergabung membentuk lapisan dari air hujan yang masuk ke dalam tanah melalui pori-pori tanah atau air yang tersimapn sejak lama di dalam tanah yang berupa air tanah dangkal, air tanah dalam, mata air.
a.       Air  tanah dangkal
Air tanah dangkal umumnya mempunyai kedalaman kurang dari  50  meter, dan lokasinya seringkali ditemui berdekatan dengan sumber air permukaan
b.       Air tanah  dalam
Air tanah dalam adalah air tanah yang terletak diantara 2 (dua) lapisan kedap air, biasanya terletak cukup jauh dibawah permukaan tanah yaitu lebih dari 100 meter.
c.       Mata  air
Mata air adalah air didalam tanah mengalir pada  lapisan  berpasir atau berkerikil, dan atau mengalir melalui celah diantara dua lapisan batu, yang bila air ini terhalang oleh lapisan kedap air (tanah liat, tanah padat, batu atau cadas) maka air ini akan mengalir kepermukaan tanah yang disebut mata air.

C.    PENGELOLAAN AIR
Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, malaksanakan, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air. (UU No7, 2004). Pengelolaan sumber daya air mencakup kepentingan lintas  sektoral dan lintas wilayah yang memerlukan keterpaduan untuk menjaga  dan memanfaatkan sumber air. Pengelolaan sumber daya air dilakukan  melalui koordinasi antara pemerintah daerah dan masyarakat.
Menurut KepMenKes No. 907/MENKES/SK/VII/2002, bahwa setiap pengelola sumber daya air diwajibkan melakukan pengelolaan dan pengawasan sumber mata air, dengan cara :
1.      Menjamin air yang diproduksi memenuhi syarat-syarat kesehatan, dengan melakukan pemeriksaan secara berkala terhadap kualitas air yang diproduksi.
2.      Melakukan pengamanan terhadap sumber air baku yang dikelola dari segala bentuk pencemaran sesuai denga peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melakukan pengelolaan terhadap sumber air yang memperoleh pengawasan dari pemerintah dan instansi terkait (Dinas Kesehatan).

D.    KELAYAKAN AIR
Kelayakan air dapat diukur secara kualitas dan kuantitas. Kualitas air adalah sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain dalam air (Hefni Effendi, 2003).
1.      Kualitas Air
a). Persyaratan Fisik
            Menurut Kusnaedi (2004), syarat-syarat sumber mata air yang bias digunakan sebagai air bersih adalah sebagai berikut :
1)      Kekeruhan
Air yang berkualitas harus memenuhi persyaratan fisik seperti berikut jernih atau tidak keruh. Air yang keruh disebabkan oleh adanya  butiran-butiran koloid dari bahan tanah liat. Semakin banyak  kandungan tanah liat maka air semakin keruh. Derajat kekeruhan dinyatakan dengan satuan unit.
2)      Tidak berwarna
Air untuk keperluan rumah tangga harus jernih. Air yang berwarna berarti mengandung bahan-bahan lain yang berbahaya bagi kesehatan.
3)      Tidak berasa
Secara fisika, air bisa dirasakan oleh lidah. Air yang terasa asam, manis, pahit, atau asin menunjukan bahwa kualitas air tersebut tidak baik. Rasa asin disebabkan adanya garam-garam tertentu yang larut dalam air, sedangkan rasa asam diakibatkan adanya asam organik maupun asam anorganik.
4)      Tidak berbau
Air yang baik memiliki ciri tidak berbau bila dicium dari jauh maupun dari dekat. Air yang berbau busuk mengandung bahan-bahan organik yang sedang mengalami dekomoposisi (penguraian) oleh mikroorganisme air.
5)      Temperatur Normal
Air yang baik harus memiliki temperatur sama dengan temperatur udara (20- 26 C). Air yang secara mencolok mempunyai temperatur di atas atau di bawah temperatur udara berarti mengandung zat-zat tertentu yang mengeluarkan atau menyerap energi dalam air.
6)      Tidak mengandung zat padatan
Bahan padat adalah bahan yang tertinggal sebagai residu pada penguapan dan pengeringan pada suhu 103 -1050 C (Totok Sutrisno, 2004)
b)   Persyaratan Kimia
      Kualitas air tergolong baik bila memenuhi persyaratan kimia sebagai berikut:
1)      pH netral
pH adalah merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan intensitas keadaan asam atau basa sesuatu larutan (Totok Sutrisno,2004). Skala pH diukur dengan pH meter atau lakumus. Air murni mempunyai pH 7. Apabila pH di bawah 7 berarti air bersifat asam, sedangkan bila di atas 7 bersifat basa (rasanya pahit) (Kusnaedi, 2004).
2)      Tidak mengandung bahan kimia beracun
Air yang berkualitas baik tidak mengandung bahan kimia beracun seperti sianida sulfida, fenolik (Kusnaedi, 2004).
3)      Tidak mengandung garam-garam atau ion-ion logam.
Air yang berkualitas baik tidak mengandung garam atau ion-ion logam seperti Fe, Mg, Ca, K, Hg, Zn, Cl, Cr, dan lain-lain (Kusnaedi, 2004).
4)      Kesadahan rendah
Kesadahan adalah merupakan sifat air yang disebabkan oleh adanya ionion( kation) logam valensi dua (Totok Sutrisno,2004). Tingginya kesadahan berhubungan dengan garam-garam yang terlarut di dalam air terutama garam Ca dan Mg (Kusnaedi, 2004).
5)      Tidak mengandung bahan organik
c)  Persyaratan bakteriologis
Air tidak boleh mengandung Coliform. Air yang mengandung golongan Coli dianggap telah terkontaminasi dengan kotoran manusia (Totok Sutrisno,2004).
2.      Kuanititas Air
Menurut I Wayan Sudiarsa (2004:27), permasalahan kuantitas air lebih menjurus pada kemampuan merosotnya daya dukung yang mengecil karena hal-hal berikut :
  1.  Eksploitasi berlebihan
  2.  Eksploitasi yang tidak tepat sasaran
  3. Perusakan daerah resapan air 
  4. Belum adanya konsistensi dan komitmen yang tinggi dari usaha-usaha konservasi air, walaupun dengan cara-cara yang sederhana